MEMBEDAH KEKUATAN DAN KELEMAHAN KTSP
Makalah
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengembangan KTSP
yang dibina oleh Prof. Dr. Mohammad Efendi, M.Pd M.Kes
Oleh
Widyatama Cahya C (108121409925)
OFF A
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
September 2010
PENDAHULUAN
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk : (1) Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (2) Belajar untuk memahami dan menghayati. (3) Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif. (4) Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain. (5) Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Sebagaimana lazimnya sebuah kurikulum, KTSP memiliki kekuatan sekaligus kelemahan. Makalah ini mencoba menelisiknya lebih jauh dari tiga mainstream, yakni globalisasi lokal; standar nasional pendidikan; dan kepentingan nation. Diharapkan dengan uraian ini terbentuk perspektif yang lebih luas dalam memandang KTSP yang sudah sedang diimplementasikan.
Kekuatan KTSP adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan keunggulan lokal yang dapat mendorong terjadinya proses "globalisasi lokal" di Indonesia. Sedangkan kelemahan KTSP adalah meninggalkan celah besar dalam upaya pencapaian standar lulusan dan standar kelulusan, di samping KTSP juga menyimpan potensi destruktif yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Kelemahan KTSP hanya dapat diatasi dengan secara konsisten menjalankan Pasal 72 PP 19/2005, dan mengimplementasikan pendidikan multikultural.
PEMBAHASAN
KTSP dan Arus Globalisasi Lokal
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memiliki stressing yang berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Perbedaan tersebut terlihat pada penekanan keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan. Dalam Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa, daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah. Muatan lokal menjadi salah satu isi KTSP, ia tidak saja dalam wujud pokok bahasan tetapi sampai pada mata pelajaran baru. Ini dalam rangka menciptakan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Membangun keunggulan lokal yang berdaya saing global boleh dikatakan merupakan merek dari KTSP. Bahwa ini merupakan suatu pendekatan baru globalisasi yang lazimnya diperankan oleh komunitas yang merasa menjadi pengimpor ilmu pengetahuan dan berbagai produk dari barat (Amerika), bahkan menjadi korban dari dominasi produk, wacana budaya dan nilai tersebut. Globalisasi semacam itu disebut globalisasi lokal (Glokal).
Sebutan Glokal atau "globalisasi lokal" pertama sekali digunakan oleh ahli globalisasi dan identitas kebudayaan kelahiran India, Indrajit Banerjee. Istilah ini diciptakan guna menggambarkan fenomena yang mengizinkan berbagai komunitas diaspora di seluruh dunia untuk menggunakan media jaringan kerja global media dalam berpegang pada berbagai aturan, berita, tradisi, dan teman lokal mereka - tak peduli di manapun mereka tinggal. Sebagaimana juga dikatakan Soh yang dikutip Banerjee, bahwa globalisasi lokal "adalah globalisasi yang sebaliknya. Alih-alih media global meliputi Asia; wilayah berbagai media lokal justru mulai mengglobal. Fenomena "globalisasi lokal" dikendalikan oleh permintaan akan berita lokal dan informasi dari orang-orang Asia yang terdiaspora, khusus jutaan emigran China dan India yang kini hidup di hampir setiap bagian dunia". (Thomas L. Friedman, 2006:592). Munculnya kebutuhan akan informasi-informasi lokal tidak untuk mengeksploitasi tetapi memunculkannya sebagai kekuatan lokal yang dapat mengglobal
Dalam rangka membangun kekuatan-kekuatan lokal inilah, berbagai bidang dapat didekati antara lain budaya, parawisata, dan pendidikan sebagai lokomotif. Dalam bidang pendidikan sebagaimana telah disinggung pada bagian awal bab ini bahwa, kurikulum pendidikan (KTSP) telah memberikan stressing kepada upaya membangun kekuatan dan keunggulan lokal yang berdaya saing global.
Jadi, dalam hal ini KTSP menjadi sarana, di mana globalisasi lokal dapat dikembangkan dan nilai yang hendak ditegakkan adalah keberagaman budaya dalam proses globalisasi bukan keseragaman.
KTSP dan Problem Standar Nasional Pendidikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan diharuskan dapat memenuhi standar nasional pendidikan. Walaupun dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah sesuai dengan karakteristik, dan kebutuhan sekolah namun harus mengacu pada standar isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Menurut Panduan penyusunan KTSP, Standar Isi (SI) mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah: kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
Pemahaman yang dapat dibangun dari rumusan panduan di atas adalah, antara standar isi dan standar kelulusan jelas memiliki korelasi, bahwa standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Persoalannya adalah, apakah antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi. Sebab, bukankah dengan menyerahkan kewenangan kepada sekolah untuk mengembangkan silabusnya sendiri merupakan sebuah mekanisme yang justru meninggalkan lubang menganga.
Persoalan semakin intens ketika pemerintah masih menggunakan Ujian Nasional (UN) sebagai alat satu-satunya untuk mengukur kompetensi lulusan. Padahal mekanisme ini sendiri masih belum sesuai dengan aturan. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan PP 19/2005 Pasal 72 Ayat (1), "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;
c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. lulus Ujian Nasional.
Merujuk pada aturan di atas, maka dari segi implementasi, belum sesuai dengan aturan, yang mana hanya menggunakan UN sebagai patokan dalam menentukan kelulusan siswa. Pada pihak lain masih pasal yang sama ayat (2), "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Di sini nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. Pertanyaannya adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.
Jadi, kalau mau jujur secara substansial dalam KTSP tidak dikenal UN, sebab pengembangan standar isi oleh sekolah-sekolah menurut karakteristik, potensi daerah, dan kebutuhan-kebutuhan daerah, bukan diarahkan kepada pencapaian standar kompetensi lulusan, sebagaimana yang diukur hanya melalui UN. Anik Gufron (2008:1) menyatakan, "upaya peningkatan mutu pendidikan seringkali dilakukan secara tak proporsional dan mengabaikan dimensi kepentingan pengguna dan konteks di mana usaha tersebut hendak dilakukan. Akibatnya, banyak produk peningkatan mutu pendidikan tak memiliki nilai efektivitas dan adaptabilitas yang tinggi".
Satu hal yang perlu dicatat pula bahwa, KTSP tidak semata-mata sebagai sebuah dokumen tetapi juga sebagai program. Karenanya memiliki dimensi praksis. Ikuti pertanyaan berikut: Mungkinkan sebuah kurikulum dapat diimplementasikan di lapangan? Dan, apakah dalam implementasinya didukung oleh sumber daya yang memadai? Sebab bukan tidak mungkin, penerapan suatu kurikulum baru berpotensi gagal, jika kurang mempertimbangkan secara masak-masak kekuatan sumber daya pengguna. Sebagaimana dinyatakan oleh Allan Ornstein dan Francis Hunkins (2004:298) bahwa, "One reason that a new curriculum may miscarry is that implementation has not been considered critical in curriculum development." Lebih lanjutnya ditegaskan bahwa, "Frequently, new and innovative programs are blunted at classroom doors." Jadi, suatu kurikulum baru yang baik secara ilmiah belum tentu dapat dilaksanakan, atau akan tumpul keilmiahannya di depan pintu ruang kelas.
KTSP dan Problem Nation
Hubungan kurikulum dengan kepentingan nation merupakan salah sudut pertimbangan yang tak terabaikan dalam melahirkan kurikulum. Sebab apapun produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tetap dalam bingkai kepentingan Negara-bangsa. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepentingan nation. Nation (Inggris) artinya bangsa. Ada tiga kata yang memiliki kesepadanan, yaitu nation=bangsa, nationality=kebangsaan, dan nationalness=kenasionalan, yang semua selalu berarti sebagai semangat nasional atau individualitas nasional. Menurut H.A.R. Tilaar (2004:107):
Istilah nasionalisme dicetuskan oleh filsuf Jerman, Gerder serta uskup Perancis, Augustin de Barruel. Dalam khasanah bahasa Inggris sendiri istilah nasionalisme mulai baru dipakai pada tahun 1836 meskipun di dalam pengertian yang bersifat teologis, yaitu doktrin yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa tertentu dipilih oleh Tuhan. Istilah ini cenderung diartikan sebagai egoisme nasional. Pengertian ini terus berkembang dan dewasa ini nasionalisme diartikan sebagaiaman yang disebutkan di atas.
Dari segi maknanya, kepentingan yang hendak ditegakkan adalah bangsa bukan individu maupun kelompok. Selanjutnya Tilaar menyatakan, "Nasionalisme adalah suatu ideologi yang menempatkan bangsa di pusat permasalahan dan berupaya untuk mempertinggi keberadaannya".
Di sana aspek kesatuan nasional mendapatkan tempat terhormat karena menjadi perekat bagi semua komponen yang ada di dalamnya. Tanpa kesatuan nasional maka suatu Negara hanya dibangun atas simbol-simbol kekuasaan yang cenderung represif atas warganya dan tidak memiliki jiwa perekat. Bahwa Negara hanya sebuah eksistensi formal sedangkan bangsa merupakan suatu identitas dari komunitas yang berada di dalamnya. Itulah sebabanya, mengapa Tilaar menyebutkan sasaran yang ketiga adalah identitas nasional. Disadari bahwa komunitas sebuah Negara terdiri dari sub-sub komunitas menurut letak geografis, latar belakang suku, budaya, bahasa, agama, kelompok pekerjaan, gender, partai politik, dan seterusnya.
Kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang yang berbeda jika tidak diikat dan terikat dalam sebuah kesadaran nationality maka dipastikan secara esensial sebenarnya tidak ada kesatuan, tidak ada kerekatan, dan warga terpecah-belah ke dalam latar belakang yang berbeda-beda itu. Keterpecahan itu menjadi potensi destruktif bagi kesatuan bangsa.
KTSP sebagai perekat atau berpotensi lahirkan disintegrasi bangsa?
Tibalah kita pada jantung persoalan, apakah KTSP sebagai perekat atau berpotensi lahirkan disintegrasi bangsa? Dalam suatu kesempatan perkuliahaan DR. C. Asri Budingsih pernah melontarkan pernyataan, "ada wacana yang berkembang, ketika berdiskusi dengan Prof. Amin Rais, beliau berbicara soal KTSP, mungkinkah dapat menjamin integrasi bangsa, ataukah justru sebaliknya dapat menjadi ancaman disintegrasi." Bak "gayung bersambut", penulis merasa senang karena apa yang selama ini menjadi kegelisahaan penulis ada juga dalam pemikiran Prof. Amin Rais dan DR. C. Asri Budingsih. Bagaimana jika ide dalm diskusi kedua tokoh ini terus digulirkan, penulis sangat yakin bahwa ini dapat merubah arah kebijakan Depdiknas.
Memang PR besar bangsa ini adalah bagaimana membentuk nation character dari warganya. Sebab Indonesia merupakan sebuah entitas yang sangat majemuk. Oleh karena itu, perlu memikirkan model pendidikan yang dapat mendukung atau bahkan membentuk nation character. Menurut Ernest Renan sebagaimana dikutip oleh Tilaar (2004:110) bahwa "nation tidak dapat disamakan dengan kesatuan manusia yang didasarkan pada kesaman ras, agama, ataupun letak geografis. Menurut Renan kesatuan solidaritas, kesatuan dari manusia-manusia yang merasa bersetia kawan satu dengan yang lainnya akan membentuk jiwa suatu nation. Inilah azas spiritual dari suatu nation".
Kalau demikian, model pendidikan apakah yang dipandang tepat untuk hal ini? Karena nation menghendaki adanya perasaan solidaritas antar warga yang berlainan latar belakangnya, maka pendidikan multikultural dipandang sebagai model pendidikan yang tepat untuk menjawabnya. Menurut Farida Hanum (2008:3) pendidikan multikultural didefinisikan sebagai, "pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Menurut Guy R. Lefrançois (2000:358), Kita membutuhkan pendidikan multikutural oleh karena pendidikanlah dianggap dapat merefleksikan pemahaman dan apresiasi akan perbedaan kultur dan mengakomodasi kebutuhan anak-anak dari latar belakang yang berbeda". Dalam konteks ini pendidikan multikultural ada dan dibutuhkan karena realitas masyarakat yang memang multikultural. Tidak bisa tidak, bahwa model pendidikan multikultural adalah sebuah keharusan dalam merespons realitas dimaksud. Menurut Guy R. Lefrançois (2000:358):
Bakns and Banks (1997) dalam Lefrançois (2000:362) menyatakan begitu pentingnya tujuan pendidikan multikultural, "One of it's major, they note, is to reform education system so that all children are treated equally by the school, regardless of their cultural and language background. A second related goal is to rid school systems of unequal treatment of boys and girls."
Tampak bahwa di sekolah sendiri ada praktik ketidakadilan baik dari guru terhadap siswa maupun dari siswa terdapa teman siswa yang lain. Lefrançois (2000:358) menyatakan, "Meeting the these goal, note Banks and Banks, requires major changes not only curriculum and teaching methods, but also in curriculum in teacher and administrators' attitudes." Dibutuhkan perubahan secara mendasar tidak saja menyangkut kurikulum dan metode pembelajaran tetapi juga dalam hal perilaku guru dan tenaga adminsitrasi.
Dalam pada itu menurut Hanum yang mengutip pendapat Tilaar, Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat kultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategis pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif menurut Hanum, maka kurikulum pendidikan multikultural mestinyalah mencakup subjek-subjek seperti; toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama.
Implementasi pendidikan multikultural dalam KTSP dapat didekati dari dua pendekatan, pertama, pendekatan instruksional atau formal, yaitu dengan mengintegrasikan subjek-subjek, seperti tema-tema menyangkut keanekaragaman sosial- budaya, toleransi ke dalam materi, pemilihan contoh-contoh, studi kasus, dan bahasa. kedua, pendekatan informal, yaitu melalui sikap dan perilaku warga sekolah, harus dijauhkan sikap dan perilaku guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan lainnya yang hanya menonjolkan kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok lainnya.
Dengan demikian diharapkan KTSP yang sudah sedang diimplementasikan di sekolah-sekolah memiliki nilai kontributif bagi pembentukan nation character, sebagai entitas dan identitas Indonesia yang sangat majemuk.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulan bahwa, KTSP sebagai kurikulum baru memiliki kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatan KTSP adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan keunggulan lokal yang dapat mendorong terjadinya proses "globalisasi lokal" di Indonesia.
Kelemahan KTSP adalah meninggalkan celah besar dalam upaya pencapaian standar lulusan dan standar kelulusan. Kelemahan lain adalah KTSP menyimpan potensi destruktif yang dapat berakibat pada disintegrasi bangsa. Kelemahan KTSP hanya dapat diatasi dengan konsisten menjalankan Pasal 72 PP 19/2005. Sementara untuk kelemahan kedua diatasi deng an menerapkan pendidikan multikultural.
Daftar rujukan